Lautan Ilmu
Tampilkan postingan dengan label Pesantren. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pesantren. Tampilkan semua postingan

Pesantren, Pasca Selesainya Jembatan Suramadu

6 komentar

Oleh : Munir Atlan*
PESANTREN, selama ini dikenal dengan sebuah institusi pendidikan keagamaan dan transformasi sosial yang dikenal sangat kukuh menjaga nilai-nilai keragaman, perbedaan, serta sangat akomodatif terhadap budaya lokal. Pesantren sejatinnya merupakan produktifitas islam modern maupun semi modern  yang bergerak dalam lingkup pemberdayaan masyarakat dan social, begitu juga dengan kegiatan  pesantren merupakan pelatihan menjadi masyarakat social yang mentaati undang-undang yang berlaku di pesantren itu sendiri. Selain itu Pesantren juga dikenal sebagai salah satu lembaga yang  tidak hanya mengajarkan ilmu pengetahuan baik umum maupun keagamaan, tetapi juga mendidik santri supaya menjadi insan yang bertanggung jawab, disiplin, mandiri dan menjadi khalifah fil ardh.
Setidaknya ada tiga elemen yang membuat pesantren mampu menjadi sub-kultur tersendiri. Pertama, pola kepemimpinan yang mandiri dan tidak terkooptimasi kepentingan-kepentingan berjangka pendek. Elemen ini sungguh sangat penting bagi pesantren. Artinya, atasan seorang kiai itu hanyalah Allah. Tidak ada kelompok politik, aparatur negara, birokrat, atau manusia lain, yang bisa mengintervensi terlalu jauh di dunia pesantren. Pola kepemimpinan seperti itu membuat pesantren menjadi unikKedua, kitab-kitab rujukan yang digunakan di banyak pesantren, umumnya terdiri dari warisan peradaban Islam dari berbagai abad. Kalau itu dikaji betul, pengetahuan yang akan diserap para santriakan sangat luas sekali. Dari situ mereka tidak hanya belajar bagian fikih yang rigid, sempit, kaku, hitam-putih, dan halal-haram saja, tapi juga ilmu-ilmu ushul fikih, kalam, tasawuf, dan lain-lain. Semua itu menunjukkan kearifan dan keindahan Islam. Mestinya itu akan membentuk wawasan keislaman yang padu dan utuh bagi santri, karena mereka mendalami agama tidak sekadar pilihan hitam-putih yang nampak di permukaan. Sementara elemen ketiga sub-kultur pesantren adalah sistem nilai atau values system yang diterapkan di pesantren itu sendiri. Sistem nilai itulah yang nantinya akan dibawa dalam proses kehidupan mereka di masyarakat.
Akan tetapi seiring dengan semaraknya arus-arus informasi dan semakin berkembangnya tekhnologi yang canggih juga semakin meralihnya budaya yang masuk kenegrei tercinta ini tanpa terkecuali pesantren yang ada didalamnya sudah mulai terkikis. Sehingga akan terjadi deglarasi moral secara besar-besaran. Apalagi Kini jembatan suramadu yang kepanjangannya kira-kira 5,4 KM tersebut sudah rampung. Namun persoalannya, secara SDM siapkah masyarakat Jatim khususnya masyarakat Madura jika suramadu telah beroprasi?
Sesuai prediksi awal, pasca selesainya pembangunan Suramadu semua industri baik disengaja atau pun tidak, akan masuk secara deras tanpa bisa dibendung. Arus industri akan cepat menggilas kondisisosial budaya yang ada di Madura. Entahlah kalau diseret ke dalam, apakah di penuhi berbagai tebing curam yang mengalir darah perih pada setiap sendi dan nadi keberlangsungan hidup masyarakat Madura atau bahkan lebih parah. Kenyataan pahit sebentar lagi akan membentang panjang jika kita terus menerus tidak peka melihat realitas yang sedang berlangsung dan memberikan ruas warna berbeda pada pra-pembangunan Jembatan Suramadu.
Disinilah peran penting pesantren notabene sebagai benteng dan pusat pendidikan Islam untuk memanusiakan manusia melalui penyuluhan pendidikan intelektual Islam dan pendidikan moral kepada para santri dan masyarakat menjadi pertimbangan mendasar di masa-masa pra oprasi Suramadu. Artinya, Pesantren yang di dalamnya terdiri dari Kiai dan Santri dituntut agar tidak tinggal diam memberikan kontribusi kepada masyarakat agar betul-betul siap menghadapi hari jadi Suramadu.
Penulis mencoba memetakan beberapa problematika pesantren yang harus mendapat perhatian menyongsong oprasi Suramadu yang tidak lepas dari problem internal dan eksternal. Pertama, aspek internal Pesantren. Saat ini, banyak para kiai pengasuh pesantren tergiur ikut politik praksis yang tidak tahu menahu persoalan realitas sosial di bawah seperti apa, segala fatwa disampaikan demi untuk mendapat dukungan banyak. Maka seorang Kiai (selagi menjadi pengasuh pondok pesantren) harus mempunyai sifat netral (oposisi) dalam pesoalan politik praksis. Lantas siapa kalau bukan kiai yang akan memegang kendali? Sebagai motor utama untuk memajukan SDM. Kemudia, pesanren harus lebih memberikan ruang gerak terhadap kreativitas para santri untuk mengembangkan bakat dan minat masing-masing tampa ada unsur paksaan menindas ujung-ujungnya akan menghilangkan ghirah belajarnya yang tinggi. Kedua, aspek eksternal. pesantren jangan sampai memisahkan diri dari perkembangan ilmu teknologi yang semakin canggih. Sebab disadari atau tidak, dengan pesatnya iptek jika kita tidak menyiasatinya akan terus dijadikan bulan-bulanan dari pesatnya perkembangan gelombang modernisasi.
Keberlangsungan perdaban informasi sedang kita rasakan, Seorang peramal ulung, Alvin Toffler mengatakan barang siapa menguasai informasi maka akan menguasai dunia. Sesuai sejarah, pesantren ikut andil dalam proses kemeredekaan indonesia, yakni sebagai pusat pertahanan orang-orang religius “Islam” untuk mepertahankan negara dari segala penindasan para penjajah. Seyogyanya di era ini (terlebih pasca Suramadu), pesantren harus mampu menyelamatkan bangsa dari ketertindasan global yaitu mempertahankan diri dari arus yang begitu dahsyat ini.
Mempertahankan dari gelombang informasi bukan berarti pesantren harus meninggalkan hal-hal yang berkaitan dengan persoalan “esoterik” dan “ekstoreik” yang menjadi ruh nilai-nilia profetik pesantren. Akan tetapi, lebih pada bentuk memberi pembekalan berupa pengetahuan berkaitan dengan IPTEK dan IMTAK bagi para generasi muda (para santri).
 * Penulis adalah sosok organisatoris muda, dan kini aktif di organisasi IKSTIDA (Ikatan Keluarga Santri Timur Daya) PP. Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep Madura
Previous Post Homepage