Oleh : Munir Atlan*
PESANTREN, selama ini
dikenal dengan sebuah institusi pendidikan keagamaan dan transformasi sosial yang dikenal sangat kukuh menjaga
nilai-nilai keragaman, perbedaan, serta sangat akomodatif terhadap budaya lokal. Pesantren sejatinnya merupakan produktifitas islam modern
maupun semi modern yang bergerak dalam lingkup pemberdayaan masyarakat
dan social, begitu juga dengan kegiatan pesantren merupakan pelatihan menjadi masyarakat social yang
mentaati undang-undang yang berlaku di pesantren itu sendiri. Selain itu Pesantren juga dikenal sebagai salah satu
lembaga yang tidak hanya mengajarkan ilmu pengetahuan baik umum maupun
keagamaan, tetapi juga mendidik santri supaya menjadi insan yang bertanggung
jawab, disiplin, mandiri dan menjadi khalifah
fil ardh.
Setidaknya ada
tiga elemen yang membuat pesantren mampu menjadi sub-kultur tersendiri. Pertama, pola kepemimpinan yang
mandiri dan tidak terkooptimasi kepentingan-kepentingan berjangka pendek.
Elemen ini sungguh sangat penting bagi pesantren.
Artinya, atasan seorang kiai itu hanyalah Allah. Tidak ada kelompok politik,
aparatur negara, birokrat, atau manusia lain, yang bisa mengintervensi terlalu
jauh di dunia pesantren.
Pola kepemimpinan seperti itu membuat pesantren menjadi unik. Kedua, kitab-kitab rujukan yang digunakan di
banyak pesantren,
umumnya terdiri dari warisan peradaban Islam dari berbagai abad. Kalau itu dikaji
betul, pengetahuan yang akan diserap para santriakan
sangat luas sekali. Dari situ mereka tidak hanya belajar bagian fikih yang
rigid, sempit, kaku, hitam-putih, dan halal-haram saja, tapi juga ilmu-ilmu
ushul fikih, kalam, tasawuf, dan lain-lain. Semua itu menunjukkan kearifan dan
keindahan Islam.
Mestinya itu akan membentuk wawasan keislaman yang padu dan utuh bagi santri,
karena mereka mendalami agama tidak sekadar pilihan hitam-putih yang nampak di
permukaan. Sementara elemen ketiga sub-kultur pesantren adalah sistem nilai atau values system yang diterapkan di pesantren itu
sendiri. Sistem nilai itulah yang nantinya akan dibawa dalam proses kehidupan
mereka di masyarakat.
Akan tetapi
seiring dengan semaraknya arus-arus informasi dan semakin berkembangnya
tekhnologi yang canggih juga semakin meralihnya budaya yang masuk kenegrei tercinta ini tanpa
terkecuali pesantren yang ada didalamnya sudah mulai terkikis. Sehingga akan
terjadi deglarasi moral secara besar-besaran. Apalagi Kini jembatan suramadu yang kepanjangannya kira-kira 5,4 KM
tersebut sudah rampung. Namun persoalannya, secara SDM siapkah masyarakat Jatim
khususnya masyarakat Madura jika suramadu telah beroprasi?
Sesuai prediksi
awal, pasca selesainya pembangunan Suramadu semua industri baik disengaja atau pun
tidak, akan masuk secara deras tanpa bisa dibendung. Arus industri akan cepat
menggilas kondisisosial budaya yang ada di Madura. Entahlah kalau
diseret ke dalam, apakah di penuhi berbagai tebing curam yang mengalir darah
perih pada setiap sendi dan nadi keberlangsungan hidup masyarakat Madura atau
bahkan lebih parah. Kenyataan pahit sebentar lagi akan membentang panjang jika
kita terus menerus tidak peka melihat realitas yang sedang berlangsung dan
memberikan ruas warna berbeda pada pra-pembangunan Jembatan Suramadu.
Disinilah peran
penting pesantren notabene sebagai benteng dan pusat pendidikan Islam untuk memanusiakan manusia melalui
penyuluhan pendidikan intelektual Islam dan pendidikan moral kepada para santri dan masyarakat menjadi pertimbangan
mendasar di masa-masa pra oprasi Suramadu.
Artinya, Pesantren yang di dalamnya terdiri dari Kiai dan Santri dituntut agar tidak tinggal diam
memberikan kontribusi kepada masyarakat agar betul-betul siap menghadapi hari jadi Suramadu.
Penulis mencoba
memetakan beberapa problematika pesantren yang harus mendapat perhatian
menyongsong oprasi Suramadu yang tidak lepas dari problem internal
dan eksternal. Pertama, aspek internal Pesantren. Saat ini, banyak para kiai pengasuh pesantren tergiur ikut politik praksis yang tidak tahu menahu
persoalan realitas sosial di bawah seperti apa, segala fatwa
disampaikan demi untuk mendapat dukungan banyak. Maka seorang Kiai (selagi menjadi pengasuh pondok
pesantren) harus mempunyai sifat netral (oposisi) dalam pesoalan politik praksis. Lantas siapa kalau bukan kiai yang akan memegang kendali? Sebagai
motor utama untuk memajukan SDM. Kemudia, pesanren harus lebih memberikan ruang
gerak terhadap kreativitas para santri untuk mengembangkan bakat dan minat
masing-masing tampa ada unsur paksaan menindas ujung-ujungnya akan
menghilangkan ghirah belajarnya yang tinggi. Kedua, aspek eksternal. pesantren
jangan sampai memisahkan diri dari perkembangan ilmu teknologi yang semakin
canggih. Sebab disadari atau tidak, dengan pesatnya iptek jika kita tidak
menyiasatinya akan terus dijadikan bulan-bulanan dari pesatnya perkembangan
gelombang modernisasi.
Keberlangsungan
perdaban informasi sedang kita rasakan, Seorang peramal ulung, Alvin Toffler
mengatakan barang siapa
menguasai informasi maka akan menguasai dunia. Sesuai sejarah,
pesantren ikut andil dalam proses kemeredekaan indonesia, yakni sebagai pusat
pertahanan orang-orang religius “Islam”
untuk mepertahankan negara dari segala penindasan para penjajah. Seyogyanya di
era ini (terlebih pasca Suramadu),
pesantren harus mampu menyelamatkan bangsa dari ketertindasan global yaitu
mempertahankan diri dari arus yang begitu dahsyat ini.
Mempertahankan
dari gelombang informasi bukan berarti pesantren harus meninggalkan hal-hal
yang berkaitan dengan persoalan “esoterik” dan “ekstoreik” yang menjadi ruh
nilai-nilia profetik pesantren. Akan tetapi, lebih pada bentuk memberi
pembekalan berupa pengetahuan berkaitan dengan IPTEK dan IMTAK bagi para generasi
muda (para santri).